Lifestyle, - Menjelang Idul Adha 10 Dzulhijjah 1442H yang bertepatan dengan 20 Juli 2021 ramai netizen yang mencari informasi dan juga pesan berantai mengenai larangan memotong kuku dan juga memotong rambut.
Pertanyaannya untuk siapakah larangan tersebut ditujukan, Apakah untuk orang yang akan melakukan Qurban, ataukah untuk Masyarakat Muslim umumnya yang akan merayakan Hari raya Idul Adha?
Mengutip laman Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur melalui situs pwmu.co, oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA, Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits, Sidoarjo, menerangkan, berdasarkan hukum syariatnya, Argumentasi larangan “potong kuku dan mencukur rambut” terkait datangnya Idul Adha adalah hadits yang diriwayatkan Umu Salamah RA.
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إذا رَأَيْتُمْ هِلَالَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّيَ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلَا مِنْ أَظْفَارِهِ حَتَّى يُضَحِّيَ
Diriwayatkan oleh Umu Salamah RA, Rasulullah SAW bersabda: Jika Kalian telah menyaksikan hilal Dzulhijah (masuknya tanggal satu bulan Dzulhjah), dan seorang di antara kalian hendak menyembelih ternak kurban) (maka janganlah ia mengambil (mencukur) rambut dan memotong kukunya sedikitpun, sehingga ia telah menyembeihnya). (HR Muslim: 1977; Abu Dawud: 2791; Tirmidzi: 1523; dan Nasai: 4361).
Sejauh yang penulis ketahui, larangan potong kuku dan mencukur rambut terkait dengan penyembelihan kurban hanya diriwayatkan Umu Salamah. Hadits tersebut tidak disangsikan shahihnya, bahkan ada dalam kodifikasi Muslim dan lainnya. Permasalahannya adalah memahami dhamir (kata ganti) ‘hu’ dalam redaksi ‘sya’rihi wa adzfarihi’, apakah dhamir itu merujuk kepada pelaku penyembelih kurban atau merujuk kepada ternak kurbannya?
"memahami teks hadits seperti ini masuk kategori ijtihadiyah. Karena masuk ranah ijtihadiyah, maka semestinya dicari berbagai qarinah yang dapat mempertajam hasil ijtihad tersebut,"ujarnya, Senin (12/07/2021).
Lebih lanjut Zainudin menjelaskan, dalam prespektif lain seperti Tafsir Dhamir, maka jika yang dimaksud dhamir tersebut merujuk kepada pelakunya, maka muncul pertanyaan, apa relevansi antara potong kuku dan cukur rambut dengan orang yang hendak berkurban? Bukankah sunah fitrah potong kuku pada setiap Jum’at?
"sementara potong rambut kepala tidak termasuk sunah fitrah, sampai-sampai rambut Rasulullah SAW dikabarkan dalam syamail-nya menjuntai ke bahunya,"urainya.
Lalu jika yang ingin berkurban seorang wanita, apa kaitannya dengan potong rambut? Sementara ada yang berspekulasi dikaitkan dengan manasik haji, sebagaimana yang difirmankan Allah SWT
وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ
Dan janganlah kamu mencukur kepalamu hingga sampainya ternak kurban di tempat penyembelihannya. (al-Baqarah 196).
Mengaitkan etika penyembelihan ternak kurban dengan ayat di atas jelas tidak mungkin, karena tahalul orang yang haji (mencukur rambiut) boleh dilakukan sebelum atau sesudah penyembelihan kurban. Sementara penyembelihan kurban terkait Idul Adha tidak boleh dilakukan sebelum shalat, melainkan dilakukan sesudah shalat (Idul Adha).
Lalu bagaimana korelasi potong kuku dan bulu hewan kurban ?
Zainudin kembali menerangkan, berbeda jika dhamir ‘hu’ dalam teks hadits di atas dirujuk kepada kuku dan rambut (bulu) binatang yang hendak disembelih. Semestinya bintang itu harus dijaga kondisinya sehingga tetap prima saat disembelih.
"saya pernah ke pusat peternakan Tapos dan menyaksikan kuku-kuku domba yang disiset sedemikian rupa, bahkan penulis juga pernah melihat tayangan di YouTube teknologi pemotongan kuku sapi yang sangat canggih. Setelah saya konfirmasikan ternyata penyisetan (pembersihan) kuku-kuku ternak itu berdampak terhadap kesehatan binatang itu. namun dokter hewan memberi warning agar tidak melakukannya dalam durasi satu bulan jika hewan itu hendak disembelih, karena dapat berdampak stress."terangnya.
Zainudin berpikir, jika dokter hewan memberi durasi satu bulan, namun Rasulullah SAW hanya memberi durasi sepuluh hari. Yakni sejak awal bulan Dzulhijah hingga umat menyelesaikan shalat Idul Adha sampai akhir hari Tasyrik. Maka dari semua penjelasan yang diungkapkan, Zainudin menyajikan kesimpulan bahwa jika diperhatikan secara seksama, bukan atas dasar apriori terhadap pendapat orang lain atau fanatik terhadap pendapat gurunya sendiri, Allah tentu membukakan pintu hidayah untuk dapat memahami mana dari dua interpretasi hadits tersebut yang lebih dekat pada kebenaran. Sebagai pamungkas, Zainudin menemukan redaksi yang spesifik berikut ini:
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلممَنْ كَانَ لَهُ ذِبْحٌ يَذْبَحُهُ فَإِذَا أُهِلَّ هِلاَلُ ذِى الْحِجَّةِ فَلاَ يَأْخُذَنَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلاَ مِنْ أَظْفَارِهِ شَيْئًا حَتَّى يُضَحِّىَ
Dinarasikan Umu Salamah RA, Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang memiliki ternak yang hendak disembelih sebagai kurban, jika telah masuk hilal Dzulhijah (masuknya tanggal satu Dzul Hijah), maka sekali-kali janganlah ia mencukur rambut (bulunya) dan memotong kukunya sedikitpun, sehingga ia menyembelihnya. (HR Muslim: 1977; Abu Dawud: 2791; Ibnu Hibban: 5917; dan Abu Ya’la: 6917.
Penekanan nasihat Rasulullah jelas ditujukan kepada binatang yang hendak disembelih sebagai kurban, bukan pelakunya. Sehingga kondisi binatang itu sangat prima saat disembelih. Wallahu a’lam. (KI)