Penulis : jimmy levin
Secara Historis, keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) di tanah air masih bisa dibilang “baru”. Mahkamah Konstitusi lahir pada 13 Agustus 2003. Dinilai dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk Mahkamah Konstitusi di negaranya. Bahkan, Indonesia merupakan negara pertama yang membentuk lembaga ini di abad ke-21.
Secara teoritis, konsep wewenang Mahkamah Konstitusi diperkenalkan pertama kali oleh seorang pakar hukum asal Austria bernama Hans Kelsen pada 1919. Kelsen dalam Teori Umum Tentang Hukum dan Negara menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat dilakukan secara efektif jika ada suatu organ selain badan legislatif. Organ ini diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum yang dihasilkan konstitusional atau tidak. Jika produk legislatif tersebut dinilai tidak konstitusional, organ tersebut berhak untuk tidak memberlakukannya.
Untuk kepentingan tersebut, Kelsen menilai bahwa perlu ada organ pengadilan khusus yang disebut “pengadilan konstitusi” atau pengawasan “kekonstitusionalan” terhadap suatu undang-undang yang disebut judicial review yang dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa juga pengadilan tertinggi.
Mahkamah Konstitusi didirikan pada 17 Agustus 2003. Jika dilihat dari perjalanan historisnya, sebagaimana tertulis pada situs Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, kehadiran wewenang Mahkamah Konstitusi di Indonesia diadopsi dari adanya Constitutional Court dalam amandemen konstitusi MPR pada 2001. Dasar hukum Mahkamah Konstitusi dirumuskan dalam tiga pasal Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menerangkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Selanjutnya, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menjabarkan sejumlah wewenang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
1.Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
2.Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
3.Memutuskan pembubaran partai politik; dan
4.Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Nah kita ketahui pada 29 September 2022 DPR secara tiba-tiba memutuskan untuk memberhentikan paksa Hakim Konstitusi Aswanto dan menggantinya dengan Guntur Hamzah dalam rapat paripurna DPR, Padahal secara konstitusional, DPR hanya diberikan kewenangan untuk mengusulkan Hakim Konstitusi, bukan memberhentikannya. Alasan DPR dalam memberhentikan Aswanto karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk oleh DPR. Pemberhentian itu adalah bentuk pelanggaran hukum dan merusak independensi peradilan.
Secara normatif, pemberhentian ini cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan. Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Ketentuan ini sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks, masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun.
Selain itu, adanya keputusan memberhentikan Aswanto sebagai Hakim Konstitusi menunjukkan bahwa DPR telah keliru dalam menafsirkan undang-undang yang dibentuknya. DPR justru terjebak oleh ketentuan yang dibentuknya sendiri, yakni meghapus periodesasi jabatan lima tahun dan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 (Iima belas) tahun. Adanya kekeliruan dalam menafsirkan undang-undang ini adalah hal yang memalukan karena DPR seperti tidak paham dengan peraturan yang dibuatnya sendiri.
Dari segi prosedur, pengambilan keputusan pemberhentian ini juga janggal karena dilakukan berdasarkan Sidang Paripurna yang dilakukan tanpa proses terjadwal, sehingga tidak diketahui publik. Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, maka akan terjadi pembiaran upaya DPR untuk meruntuhkan independensi peradilan. Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain.
Merujuk pada Pasal 24C UUD 1945 juga mengatur sejumlah hal lain terkait Mahkamah Konstitusi.
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh DPR, dan tiga orang oleh Presiden.
Kita ambil contoh UU Cipta kerja setalah dilakukan judical Review ke MK dan memutuskan kalau UU tersebut Inkonstitusional.
"Hakim MK memang diajukan oleh DPR tapi bukan berarti semua produk UU yang dibatalkan oleh MK , DPR dengan semena2 melakukan pencopotan Pada Hakim MK, itu merusak mencederai demokrasi sesuai asas independen dan impercial"
Jika kita lihat dari pasal 24C UUD 1945 tersebut diajukan Oleh , bisa digaris bawahi oleh tersebut bukan dari DPR tentu ini multitafsir yang keliru jika DPR mengganggap Hakim MK itu dari pihak legislatif. secara konstitusi Hakim MK mandiri dan independen untuk memutuskan dan mengadili beberapa sengketa kenegaraaan.DPR sebagai pihak yang mengajukan mungkin punya langkah yang lebih awal untuk mengevaluasi para hakim Mahkamah Konstitusi terlebih dahulu bersama Stakeholder Terkait.
Jika ada tarik ulur kepentingan di Mahkamah Konstitusi maka sistem kenegaraan tidak akan berjalan dengan baik. Dan baiknya pemerintah secara aktif melakukan pengawasan secara berkala terhadap mahkamah konstitusi.
"Hukum memang produk politik tapi Keadilan Konstitusi ialah Keadilan yang berdasarkan Norma-norma bukan mengakomodir kepentingan pihak politisi".Demikian Jimmy Levin ***