JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia menyambut baik ide pembentukan koalisi besar yang digagas oleh lima partai politik di parlemen.
Koalisi besar tersebut diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan politik Indonesia yang kuat, bisa melindungi kepentingan nasionalnya di tengah dinamika global dan geopolitik saat ini.
"Kalau sekarang ada yang mengarah pada koalisi besar, itu saya kira satu ide yang menarik. Tetapi, kita melihat hal itu masih sekedar wacana, masih baru cocok-cocokan. Masih ngukur, ini modalnya berapa, yang ini berapa, cukup atau tidak. Masih berbasis pragmatis, basis koalisinya belum ada ikatan ideologisnya," kata Mahfuz Sidik, Sekretaris Jenderal Partai Gelora dalam Gelora Talk bertajuk 'Koalisi Politik di Bulan Ramadhan 1444 H, Rabu (5/4/2023).
Menurut Mahfuz, partai politik (parpol) yang tergabung dalam koalisi besar saat ini, masih belum terlihat membicarakan konteks Indonesia sebagai bangsa setelah 2024.
Padahal situasi domestik sekarang ada resiko kawasan yang harus diperhitungkan, yakni mengenai adanya potensi terjadinya perang terbuka negara-negara besar di dunia, selain perang antara Rusia-Ukraina
"Amerika, Rusia, negara-negara Eropa dan China sudah saling mengancam perang, dan perangnya nggak tanggung-tanggung pakai nuklir. Jika terjadi perang terbuka, maka imbasnya ke Indonesia akan sangat signifikan," katanya.
Karena itu, koalisi besar harus mampu menghasilkan format koalisi kepemimpinan politik yang bisa melindungi kepentingan nasionalnya, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa dan negara.
"Koalisi besar harus dilapisi atau dialasi dengan agenda tentang bagaimana kepentingan nasional Indonesia di tengah ancaman perang kawasan," katanya.
Jika resiko ini tidak diantisipasi, maka perjalanan Indonesia sebagai bangsa ke depannya akan semakin berat.
"Menurut saya, yang penting jangan sampai siklus 5 tahunan menciptakan kerentanan-kerentanan Pemilu. Membuat Indonesia menjadi proxy war dari petarungan global, atau lebih jauh kita menjadi battlefield, ladang perang pertarungan-pertarungan besar. Itu yang perlu kita warning," kata mantan Ketua Komisi I DPR ini.
Mahfuz mengingatkan, ada dua faktor kerentanan yang bisa dimanfaatkan asing untuk mengacaukan Pemilu 2024. Yakni faktor polarisasi idelogis, serta persoalan kemiskinan masyarakat marjinal dan perkotaan.
"Kalau nanti tiba-tiba muncul isu PKI lagi, Islam fundamentalis jangan kaget. Atau ada prakondisi krisis ekononomi yang dipicu krisis moneter atau rontoknya perbankan di Indonesia, misalnya. Jika ini terus dibumbui dan didrive, maka kerentanan akan terjadinya konflik terbuka akan semakin besar," katanya mengingatkan.
Partai Gelora, partai nomor 7 di Pemilu 2024 saat ini konsen menjadikan Pemilu 2024 agar menjadi pijakan bagi indonesia untuk bisa menjawab tantanan global, dimana situasi domestik akan dipangaruhi dinamika global.
"Partai Gelora telah membangun komunikasi politik secara senyap, informal, menyampaikan ide atau narasi, bahwa kita butuh formasi kepimpinan baru yang kuat. Koalisi besar sebenarnya sejalan dengan pemikiran Partai Gelora," katanya.
Ia menambahkan, Partai Gelora telah menyodorkan satu pemikiran untuk menghentikan polarisasi yang terjadi di masyarakat, dan mulai memperkuat rekonsilasi nasional dan tidak ada lagi residu di Pemilu 2024.
"Kita juga mengingatkan bahwa situasi ekonomi yang sulit saat ini bisa memunculkan perlawanan kaum miskin marjinal. Lalu, kemana arah Partai Gelora tentu kepada pihak-pihak yang bisa menerima ide-ide yang kita sodorkan untuk kepentingan Indonesia, bukan kepentingan pragmatis," tegasnya.
Tiga King Maker
Sementara itu, Peneliti Utama Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan, koalisi yang ada saat ini masih terus dinamis hingga pendaftaran calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres)
Koalisi tersebut, katanya, masih bisa berubah setiap waktu, karena politik Indonesia menganut sistem last minute.
"Jadi sebelum ada pendaftaran pemilu, koalisi kita belum sah, karena koalisi kita menganut sistem last minute. Seperti pada Pemilu 2019, kita tidak menyangka Sandiaga Uno sama-sama dari Gerindra berpasangan dengan Prabowo dan KH Ma'ruf Amin yang tidak pernah di sebut-sebut menjadi pendamping Jokowi di periode kedua," kata Bawono.
Bawono menilai ada tiga 'king maker' yang akan berperan dalam menentukan pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Yakni Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi).
"Sehingga tidak mudah menentukan konsensus pasangan calon yang akan diusung blok koalisi besar, sehingga potensi tiga pasangan akan terjadi. Kalau PDIP ikut akan terjadi head to head lagi seperti Pilpres 2019 lalu," katanya.
Sehingga Megawati tetap akan menjadi king maker untuk menentukan pasangan capres dan cawapres koalisi besar, serta PDIP sendiri apabila tidak bergabung ke koalisi besar.
Jika PDIP tidak bergabung, maka Presiden Jokowi akan lebih leluasa menjadi king maker untuk menentukan pasangan capres dan cawapres koalisi besar yang telah difasilitasinya.
Sementara Surya Paloh tetap akan menjadi king maker untuk menentukan capres pendamping Anis Baswedan yang akan diusung koalisi perubahan.
"Jadi kemungkinan nanti akan ada tiga koalisi, dan masing-masing koalisi memiliki keunikan. Kenapa saya mengatakan, nanti ada tiga koalisi, karena sikap PDIP masih misteri, belum menyatakan bergabung ke koalisi besar atau mengusung capres sendiri," katanya.
Namun, ia memprediksi sikap politik PDIP itu akan diputuskan dalam tiga bulan ke depan. Sikap politik PDIP ini, akan mengubah peta politik ke depan.
"Jadi king maker masih ada Megawati dan Surya Paloh, meski sampai sekarang mereka bersitegang, karena Surya Paloh mengusung Anies Baswedan. Sekarang muncul king maker baru, Jokowi yang mereka bentuk dalam dua pemilu sebelumnya," papar Bawono.
Sedangkan Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes mengatakan, apabila koalisi dari Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) terwujud dalam satu koalisi besar, maka hal ini akan jadi tolok ukur baru dalam pembentukan gabungan partai politik di Indonesia.
"Kalau koalisi ini terwujud dan berhasil diwujudkan sampai pendaftaran capres nanti pada Oktober 2023, saya kira itu akan jadi milestone baru dalam proses pembentukan koalisi di Indonesia," kata Arya.
Selain itu kata Arya, jika koalisi tersebut terwujud maka mereka akan mewakili sekitar 50 persen proporsi kursi di DPR.
Sebab sebagaimana diketahui, KIB terdiri dari PAN, Golkar dan PPP, sementara KKIB terdiri dari Gerindra dan PKB.
Arya memastikan penggabungan dua koalisi tersebut melebur dalam satu wadah, akan mempengaruhi konstelasi politik ke depan.
"Dan kalau itu terwujud itu juga akan mewakili sekitar 50 persen proporsi kursi di DPR, dan tentu juga akan mempengaruhi konstelasi politik ke depan," katanya.