Kabaran Khasanah, - Di kalangan para ulama terdapat perbedaan pemahaman dalam menafsirkan QS. Al Maidah ayat 6. Menurut Ali dan Ibnu Abbas, makna "aw lamastumu al nisa" adalah bersetubuh. Sedangkan menurut Umar bin Khattab dan Ibnu Masud memaknainya sebagai persentuhan kulit.
Perbedaan pemaknaan ini mengakibatkan perbedaan pendapat tentang batal tidaknya wudhu seseorang karena persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Menurut pendapat pertama, yang dipegangi oleh ulama Hanafiyah, persentuhan kulit laki-laki dan perempuan tidak membatalkan wudhu. Sedangkan menurut pendapat kedua, yang dipegangi ulama Hambaliyah dan Syafiiyah, persentuhan kulit laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu, sehingga harus diulang. Sementara ulama Malikiyah, persentuhan kulit laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu apabila menimbulkan syahwat.
Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di buku Tanya Jawab Agama jilid V disebutkan bahwa pendapat yang dipilih oleh Muhammadiyah ialah pendapat pertama, yaitu tidak membatalkan wudhu sekalipun terjadi persentuhan kulit laki-laki dan perempuan. Hal ini didukung oleh sejumlah dalil, salah satunya dari ‘Aisyah.
"Pada suatu malam saya kehilangan Rasulullah Saw dari tempat tidur, kemudian saya merabanya dan tanganku memegang dua telapak kaki Rasulullah yang sedang tegak karena beliau sedang sujud" (HR. Muslim dan at Tirmidzi serta menshahihkannya).
Pemahaman yang beragam dalam hal ini menunjukkan kekayaan tradisi keilmuan Islam. Namun, perbedaan pendapat tersebut juga menimbulkan kebingungan di kalangan umat. Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk memahami kerangka pemikiran di balik perbedaan ini.
Wudhu dan Kesucian dalam Praktik
Meskipun terdapat perbedaan pendapat dalam teori, praktik umat Islam dalam menjalankan ibadah wudhu tetap didasarkan pada keyakinan akan kesucian dan kebersihan. Wudhu dianggap sebagai persiapan spiritual sebelum melaksanakan ibadah, sehingga menjaga kebersihan dan ketundukan terhadap ajaran agama.
Dalam menyikapi perbedaan pendapat, Muhammadiyah menunjukkan keterbukaan untuk berdialog dan berdiskusi dengan berbagai pihak. Hal ini menjadi cermin dari semangat untuk mencari pemahaman yang lebih mendalam dan menyeluruh terhadap ajaran agama Islam.
Perbedaan pendapat dalam pemahaman agama adalah hal yang lumrah dalam tradisi keilmuan Islam. Namun, dalam keragaman itu terdapat kesatuan dalam prinsip-prinsip yang mendasari praktik keagamaan umat Islam, seperti kesucian dan kebersihan dalam menjalankan ibadah.