KABARAN JAKARTA – Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana, meminta pemerintah Indonesia untuk mengkritisi pelaksanaan gencatan senjata antara Israel dan Palestina. Ia menilai, gencatan senjata ini bisa menjadi strategi halus bagi Israel untuk menguasai Palestina secara penuh, dengan dukungan dari Amerika Serikat (AS).
"Konflik Palestina ini adalah konflik tanah. Tanah rakyat Palestina diokupasi dan diduduki oleh Israel. Gencatan senjata ini justru bisa dimanfaatkan untuk memperkuat posisi Israel dalam melakukan genosida terhadap rakyat Palestina," ujar Hikmahanto dalam acara Gelora Talks bertajuk "Gencatan Senjata, Pembebasan Sandera & Apa Tantangannya?", pada Rabu (29/1/2025).
Menurut Hikmahanto, ada indikasi bahwa Donald Trump, yang sedang bersiap untuk kembali berkuasa di AS, memiliki rencana merelokasi pengungsi Gaza ke luar Palestina, termasuk ke Indonesia, Yordania, dan Mesir, selama rekonstruksi pascaperang.
Hikmahanto menyoroti bahwa inisiatif gencatan senjata ini dimediasi oleh Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat, tetapi AS sendiri terpecah menjadi dua kubu, yakni pendukung Joe Biden dan pendukung Donald Trump.
"Partai Republik, yang dimotori Trump, lebih menyukai perang daripada perdamaian. Sehingga, agak janggal jika mereka tiba-tiba meminta Israel untuk menyetujui gencatan senjata," jelasnya.
Lebih lanjut, ia menuding adanya kesepakatan terselubung antara Trump dan Perdana Menteri Israel, Benyamin Netanyahu, untuk menguasai Gaza setelah sandera Israel dibebaskan.
"Ketika semua sandera Israel sudah dibebaskan, maka petinggi Hamas akan dihabisi, dan Gaza dikuasai dengan merelokasi rakyat Palestina," tambahnya.
Sebagai rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, Hikmahanto menegaskan bahwa Indonesia harus memainkan peran aktif dalam mendukung kemerdekaan Palestina. Ia mengusulkan beberapa langkah strategis:
- Menambah kehadiran tim medis Indonesia di Gaza.
- Mengupayakan mandat dari PBB untuk pasukan penjaga perdamaian.
- Mengajak negara lain membantu rekonstruksi Gaza.
- Mendorong implementasi solusi dua negara (two-state solution).
"Inilah saatnya Indonesia berperan lebih aktif dalam isu Palestina, bukan hanya sekadar mengutuk atau mengirim bantuan," tegasnya.
Sementara itu, Ketua Pusat Solidaritas Palestina DPP Partai Gelora, Tengku Zulkifli Usman, mengingatkan bahwa kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih bisa memperburuk situasi geopolitik Palestina.
"Di periode pertama, Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel. Di periode kedua, akan ada keputusan-keputusan ekstrem lainnya yang merugikan Palestina," katanya.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya perubahan narasi dalam perjuangan Palestina.
"Perjuangan Palestina tidak bisa hanya mengandalkan bantuan kemanusiaan atau donasi. Ini harus menjadi agenda geopolitik yang lebih kuat," ujarnya.
Ia menilai bahwa langkah Presiden Prabowo Subianto dalam menunjuk Wakil Menteri Luar Negeri khusus untuk Dunia Islam (Anis Matta) merupakan bagian dari strategi baru untuk membela Palestina secara lebih substantif.
"Ketika berhadapan dengan Trump, narasi politik Indonesia harus diperkuat agar dukungan terhadap Palestina tidak hanya menjadi komoditas politik," tandasnya.
Sementara itu, aktivis Palestina, Muhammad Husein Gaza, mengungkapkan kekhawatirannya bahwa gencatan senjata ini bisa menjadi awal dari gelombang normalisasi hubungan negara-negara Arab dengan Israel.
"Saya khawatir gencatan senjata ini adalah strategi agar negara-negara Arab mulai membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Indonesia harus tetap konsisten dan tidak tergoda untuk ikut dalam arus normalisasi," tegasnya.
Hingga saat ini, Indonesia tetap menjadi salah satu negara yang paling vokal dalam mendukung Palestina dan menolak normalisasi hubungan dengan Israel.