KABARAN.ID,- Gelombang besar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di sektor padat karya terus berlanjut memasuki tahun 2025. Perusahaan-perusahaan besar seperti Sanken, pabrik piano Yamaha, dan Sritex telah melakukan PHK massal, mencerminkan lemahnya daya tahan industri ini terhadap tekanan ekonomi global dan kebijakan domestik yang kurang mendukung. Fenomena ini bukan hanya mempengaruhi kesejahteraan pekerja, tetapi juga mengancam target pertumbuhan ekonomi nasional yang sebagian besar ditopang oleh industri padat karya.
Krisis ketenagakerjaan yang terjadi saat ini tidak lepas dari berbagai faktor eksternal yang mempengaruhi kondisi sektor padat karya. Kebijakan industri yang berubah-ubah menciptakan ketidakpastian bagi investor dan pelaku usaha. Salah satu contoh nyata adalah kebijakan impor dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang justru memperburuk situasi bagi industri tekstil dan manufaktur dalam negeri. Akibatnya, produk lokal semakin sulit bersaing dengan barang impor murah yang membanjiri pasar domestik, menyebabkan banyak perusahaan harus memangkas tenaga kerja untuk bertahan. Berdasarkan data dari Kementerian Perdagangan RI, 2024 tercatat lonjakan impor di sektor tekstil menyebabkan menurunnya daya saing industri dalam negeri.
Secara ekonomi, tahun 2025 diproyeksikan akan menjadi tahun yang penuh tantangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat pulih setelah pandemi mulai menghadapi tekanan baru akibat perlambatan ekonomi global dan perubahan kebijakan perdagangan internasional. Daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih semakin memperburuk kondisi sektor manufaktur dan padat karya, yang bergantung pada konsumsi domestik . Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan RI, 2024 menunjukkan adanya perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat ketidakpastian global dan menurunnya investasi di sektor manufaktur.. Hal ini diperburuk dengan tren investasi yang lebih condong ke negara-negara ASEAN lain seperti Vietnam dan Thailand, yang memiliki regulasi tenaga kerja yang lebih fleksibel dan daya saing yang lebih tinggi.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia menunjukkan tren yang cukup fluktuatif dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2020, akibat dampak pandemi COVID-19, angka pengangguran melonjak drastis mencapai 7,07%. Meskipun terjadi pemulihan, hingga tahun 2024 angka ini masih berada di kisaran 4,91%. Menurut data Badan Pusat Statistik, 2024 tercatat tingkat pengangguran terbuka masih bertahan di kisaran 4,91%, dengan kemungkinan peningkatan akibat PHK massal di sektor industri. Jika tidak ada kebijakan yang efektif dalam menanggulangi dampak PHK yang terus terjadi, TPT pada tahun 2025 dikhawatirkan kembali meningkat. Data historis menunjukkan bahwa setiap kali terjadi krisis ekonomi atau perubahan regulasi yang tidak berpihak pada industri dalam negeri, angka pengangguran mengalami kenaikan yang signifikan.
Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia (2010-2025)
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Ketenagakerjaan RI, dan estimasi proyeksi 2025 berdasarkan tren historis.
Pemerintah telah berupaya mengatasi permasalahan ketenagakerjaan ini melalui berbagai kebijakan, salah satunya dengan membentuk Tim Koordinasi Nasional Vokasi pada Kementrian Tenaga Kerja kurang dari dua tahun yang lalu. Namun, hingga saat ini efektivitasnya masih belum optimal. Banyak program pelatihan vokasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri, sehingga lulusan program tersebut tetap kesulitan mendapatkan pekerjaan yang layak Hal ini menunjukkan bahwa program pelatihan vokasi yang ada saat ini belum mampu menjawab kebutuhan industri secara optimal. Selain itu, regulasi ketenagakerjaan yang kaku membuat industri kesulitan untuk menyesuaikan jumlah tenaga kerja dengan dinamika pasar yang berubah-ubah.
Untuk mengantisipasi dampak PHK yang terus meningkat pada tahun 2025, pemerintah perlu melakukan reformasi kebijakan ketenagakerjaan secara menyeluruh. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan program pelatihan vokasi yang lebih terarah dan berbasis kebutuhan industri. Program ini harus dikembangkan dalam kerja sama dengan perusahaan agar lulusan vokasi dapat langsung terserap ke dunia kerja. Selain itu, regulasi ketenagakerjaan perlu disederhanakan agar lebih fleksibel tanpa mengorbankan perlindungan bagi tenaga kerja.
Selain reformasi ketenagakerjaan, kebijakan proteksi industri dalam negeri harus diperkuat agar sektor padat karya tetap memiliki daya saing. Pemerintah harus memastikan bahwa kebijakan impor tidak merugikan industri lokal, serta memberikan insentif bagi perusahaan yang mempertahankan tenaga kerja dan meningkatkan efisiensi produksi. Insentif pajak dan subsidi bagi perusahaan yang mengadopsi teknologi digital juga dapat menjadi solusi untuk meningkatkan daya saing tanpa harus mengorbankan banyak pekerja.
Jika langkah-langkah strategis ini tidak segera diambil, maka dampak PHK pada tahun 2025 akan semakin besar, menyebabkan lonjakan angka pengangguran yang sulit dikendalikan. Tidak hanya itu, kepercayaan investor terhadap stabilitas tenaga kerja di Indonesia akan semakin melemah, mendorong relokasi industri ke negara-negara dengan regulasi yang lebih fleksibel. Hal ini berpotensi mengurangi kapasitas manufaktur dalam negeri dan meningkatkan defisit perdagangan akibat ketergantungan pada impor. Krisis ini bukan hanya akan memperburuk kesejahteraan tenaga kerja, tetapi juga akan berdampak langsung pada perekonomian nasional.
Ketidakseimbangan antara jumlah pencari kerja dan lapangan kerja yang tersedia akan memperburuk daya beli masyarakat, yang pada akhirnya berimplikasi pada melemahnya konsumsi domestic, salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika tidak segera ditangani, efek domino ini bisa berujung pada stagnasi ekonomi yang lebih luas dan memperburuk krisis sosial. Oleh karena itu, pemerintah dan sektor industri harus bekerja sama dalam merancang kebijakan yang adaptif dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi jangka panjang, agar sektor padat karya tetap menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia.
Oleh : Freesca Syafitri, Pengamat Kebijakan Publk dan Ekonomi I Dosen FEB UPNVJ I Eks-OECD Advisor for Indonesia