Kabaran Labuan Bajo – Kasus sengketa lahan seluas 11 hektare di Kerangan, Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, kembali memanas setelah pihak ahli waris almarhum Ibrahim Hanta (IH) kembali menegaskan kemenangan hukum mereka di tingkat Pengadilan Negeri Labuan Bajo dan Pengadilan Tinggi Kupang.
Muhamad Rudini, yang mewakili pihak ahli waris IH, telah menyerahkan surat kuasa kontra memori kasasi kepada Pengadilan Negeri Labuan Bajo pada Rabu (8/4/2025). Tim kuasa hukum terdiri dari Indra Triantoro, S.H., M.H., Jon Kadis, S.H., serta Ketua Penasehat Hukum Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si dari Sukawinaya-88 Law Firm and Partners.
Pihak yang dilawan dalam perkara ini adalah keluarga almarhum Niko Naput (NN), Santoso Kadiman, dan PT Mahanaim Group yang diwakili Ika Yunita.
Tanah Diperoleh Secara Adat Sejak 1973
Kuasa hukum Indra Triantoro menjelaskan, lahan tersebut diperoleh alm. Ibrahim Hanta pada 1973 melalui ritual adat “kapu manuk lele tuak” dari Fungsionaris Adat, H. Ishaka. Sejak saat itu, IH menggarap lahan, menanam jati, kelapa, nangka, jagung, serta beternak kambing hingga wafat pada 1986. Pengelolaan dilanjutkan oleh anaknya, Nadi Ibrahim.
Namun sejak pertengahan 2014, keluarga IH merasa terusik oleh kehadiran sekelompok orang yang dipimpin H. Ramang Ishaka (putra H. Ishaka) bersama sejumlah preman. Mereka diduga hendak membagikan lahan secara sepihak atas perintah Niko Naput. Aksi itu berhasil dihalau oleh ahli waris IH.
Transaksi Tanah Fiktif dan SHM Bermasalah
Indra membeberkan adanya akta PPJB (Perjanjian Pengikatan Jual Beli) tanah seluas 40 hektare antara Niko Naput dan Santoso Kadiman yang dibuat pada Januari 2014. Transaksi ini dinilai fiktif karena tidak memiliki alas hak yang sah dan hanya diukur menggunakan Google Maps. Bahkan, sebagian dari lahan 40 hektare tersebut tumpang tindih dengan tanah 11 hektare milik IH, lahan milik tujuh warga lainnya seluas 3,1 hektare, dan bahkan lahan milik pemerintah.
Lebih lanjut, pada 2017 terbit dua Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Paulus Grant Naput dan Maria Fatmawati Naput, anak-anak dari Niko Naput, tanpa sepengetahuan ahli waris IH. Anehnya, dasar penerbitan sertifikat tersebut adalah surat penyerahan tanah dari IH pada 2019—padahal IH telah meninggal dunia sejak 1986.
“Surat Orang Mati” dan Dugaan Pemalsuan
Surat penyerahan tanah dari almarhum IH yang digunakan sebagai alas hak untuk menerbitkan SHM kemudian dilaporkan secara pidana oleh ahli warisnya karena dinilai sebagai “surat tipu alas orang mati.” Meskipun sempat disepakati damai, kesepakatan itu dibatalkan sepihak oleh pihak NN dan anehnya, Badan Pertanahan Nasional (BPN) tetap mengakomodasi pembatalan tersebut.
Jon Kadis menambahkan, pada Januari 2024 dalam proses gugatan perdata, anak Niko Naput mengajukan bukti baru berupa fotokopi surat alas hak bertanggal 10 Maret 1990 atas tanah seluas 16 hektare. Surat tersebut diklaim meliputi lahan 11 hektare milik IH.
Namun, hasil pemeriksaan Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung RI per 23 Agustus 2024 menyatakan surat tersebut tidak memiliki arsip asli di kantor lurah, camat, BPN, atau instansi lainnya. Fotokopi itu diduga kuat palsu dan tidak sah secara yuridis maupun administratif.
Putusan Pengadilan dan Dugaan Kejahatan
Pada 23 Oktober 2024, Pengadilan Negeri Labuan Bajo memutus perkara No.1/2024 dan memenangkan ahli waris IH. Putusan ini diperkuat Pengadilan Tinggi Kupang pada 18 Maret 2025 yang menyatakan bahwa SHM atas nama anak-anak NN tidak sah.
“Ini jelas menunjukkan adanya perbuatan melawan hukum, mulai dari penggunaan surat orang mati, klaim atas tanah fiktif 40 hektare, hingga pemalsuan surat alas hak. Semua ini masuk dalam kategori mafia tanah,” tegas Jon Kadis.
Tujuh Dugaan Kejahatan Tanah
Tim kuasa hukum ahli waris IH menyimpulkan bahwa setidaknya terdapat tujuh indikasi perbuatan melawan hukum, yaitu:
-
Penipuan menggunakan surat alas hak dari orang yang sudah meninggal (IH).
-
Penipuan luas tanah fiktif 40 hektare dalam PPJB tanpa alas hak.
-
Penggunaan surat alas hak 10 Maret 1990 yang tidak memiliki arsip asli.
-
Fotokopi surat 1990 hasil rekayasa tanpa legalitas resmi dari instansi mana pun.
-
Pengukuhan palsu oleh pihak yang mengaku sebagai fungsionaris adat.
-
Perampasan hak atas tanah ahli waris.
-
Keterlibatan PT Mahanaim Group dalam mendorong penguasaan lahan secara ilegal, termasuk membangun hotel St. Regis di atas lahan bermasalah.